UA-70817388-1

Pages - Menu

Kamis, 12 Juni 2014

MAKALAH ISU KRITIS MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Undang-undang Dasar 1945, Pasal 31, Ayat (1) tentang hak setiap Warga Negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan, sesungguhnya  telah mengamanatkan bahwa  segenap masyarakat Indonesia harus mendapat pendidikan yang merata dan adil. Selanjutnya  dalam  Undang-Undang Pendidikan No.20 tahun 2003, juga menyiratkan bahwa pendidikan yang ada seharusnya mampu memanusiakan manusia Indonesia menjadi manusia yang utuh, yakni masyarakat yang  cerdas, berbudi luhur , berhaklak mulia serta bertaqwa kepada Tuhan  Yang Maha Esa.
            Antara  Undang-undang  1945 dan Undang-Undang Pendidikan no.  20 tahun 2003 memiliki keterkaitan yang erat. Maka penting bagi Pemerintah untuk  memperhatikan aspek pendidikan bagi bangsa ini, agar rakyat Indonesia dapat maju, berkembang dan kompetitif di tengah pesatnya laju peradaban dunia saat ini.  Pertanyaannya apakah antara cita-cita luhur  yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945  dan Undang-Undang Sistem Pendidikan  Nasional   sudah dilaksanakan dengan baik dan telah dinikmati oleh segenap rakyat Indonesia?
Ada banyak persoalan terkait dengan kualitas pendidikan bangsa Indonesia ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa maraknya  demo yang bermunculan di tengah hiruk-pikuk menurunnya rasa sosial dan moralitas bangsa kita ini, bertebarannya kritikan-kritikan pedas yang lahir  dari para praktisi dan elemen masyarakat yang  peduli terhadap kualitas pendidikan bangsa ini, menunjukkan betapa bobroknya kualitas pendidikan bangsa kita ini.
             Pendidikan yang baik adalah saripati dari sebuah proses pencerdasan sebuah bangsa. Namun tatkala terjadi distorsi di wilayah pendidikan, khususnya pendidikan nilai dan moral, ini adalah indikasi mulai hancurnya peradaban sebuah bangsa. Dengan kata lain ini adalah pratanda bahwa negeri yang sedemikian itu  sudah tidak cerdas lagi dalam menata dan mengelola bangsanya.  Hal ini tentu  tidak bisa dibiarkan.
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, merasa prihatin dengan kondisi ini. Ada apa dengan pendidikan Indonesia. Bagaimana sesungguhnya visi dan misi pendidikan  kita ini? Mau diapakan bangsa ini. Tetap apatis, berjalan di tempat, atau dibuat melangkah maju namun tanpa arah dan tujuan yang jelas?
            Mencermati kondisi dan system pendidikan di Indonesia saat ini, bahwa pemerintah kita ini tidak memiliki  konsistensi dalam tata kelola,  sangatlah disayangkan. Visi dan misi pendidikan Nasional dengan landasan filosofisnya yang sangat luhur semestinya  pendidikan di negara kita ini sudah jauh berkembang setelah merdeka kurang lelih 60 tahunan.
            Sangat disayangkan  bahwa  pondasi kokoh dari  seorang pahlawan sekaligus tokoh pendidikan nasional kita, Ki Hajar Dewantara, tidak punya roh lagi.  Model  pembelajaran yang berbasis kultur bangsa ini, telah berangsur punah. Ganti menteri, ganti kebijakan. Kebijakan yang munculpun kalau dicermati adalah adopsian dari model Barat yang senantiasa mendewakan teknologi. Pertanyaannya, sudah siapkah bangsa ini? Sudah berkualitaskah anak bangsa ini untuk menggunakan piranti dan sarana berteknologi  tinggi ala Barat itu?
            Disinilah kualitas pendidikan kita diuji dan dipertaruhkan. Pemaksaan terhadap teknologi tanpa melihat  SDM yang menggunakan, justru akan perimplikasi sebaliknya. Jangankah untuk mutu, sunyatanya untuk mendapat pemerataan pendidikanpun, pemerintah belum mampu. 
            Para  lulusan anak-anak bangsa ini, mulai celepotan. Setelah menamatkan tertentu, mereka kebingungan mencari peluang kerja. Banyak  yang mampu menamatkan pendidikan, namun yang menganggur jauh lebih banyak. Apakah ini tujuan pendidikan sesungguhnya?. Tentu tidak. Pendidikan bertujuan mengentaskan kemiskinan yang berawal   dari akumulasi keterbelakangan dan pengangguran yang salah satu penyebabnya adalah  rendahnya mutu pendidikan itu sendiri.
            Realitas Pendidikan Indonesia saat ini benar-benar berada di ambang kebingungan. Para pemegang otoritas di bidang pendidikan, khususnya  Pemerintah, tampak tidak berdaya. Muncul euporia “ ganti menteri ganti kebijakan”. Persoalannya, siapa berani dan punya kemampuan untuk merubah?
 II.    RUMUSAN MASALAH
·         Bagaimana  keterkaitan  antara  UU45  dan  UU Pendidikan Nasional (Sindiknas) No.20  tahun 2003?
·         Mengapa muncul banyak  isu-isu kritis sekitar pendidikan?
·         Bagaimanakah realitas pendidikan Indonesia saat ini?

III.  TUJUAN
·         Mengetahui sejauh mana keterkaitan  antara UU 1945 dan Undang-Undang Pendidikan Nasional(Sindiknas) No.20 tahun 2003?
·         Mengetahui mengapa muncul banyak isu-isu kritis sekitar pendidikandan di Indonesia ini?
·         Mengetahui realitas pendidikan Indonesia dan solusi apa yang seharusnya diambil pemerinrtah?.


BAB II
PEMBAHASAN
I. KETERKAITAN ANTARA UU 1945-UU Sistiknas No. 20 Tahun 2003
Kalau saja jujur, antara esensi dan kenyataan yang ada terkait dengan pendidikan kita di Indonesia, sangat jelas bahwa antara harapan(das sollen ) dan realitas (das sein), sangatlah jauh melenceng. Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan agar pendidikan itu dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia secara merata dan adil untuk mengentaskan kemiskinan, memberikan pendidikan yang berkeadilan, dan membebaskan dari kebodohan. Pada kenyataannya? Dua fakta ini terkesan antara langit dan bumi.
            Munculnya berbagai kebijakan pemerintah dengan undang-undang pendidikan sejak Indonesia merdeka, telah mengindikasikan bahwa esensi pendidikan itu kurang mendapat porsi penanganan yang pasti dan inkonsistensional. Sebut saja  munculnya:  Kurikulum  berbasis KTSP, UN (Ujian Nasional), UU BHP  yang akhirnya ditolak di MA, dan masih banyak yang lainnya.
            Menurut Pemerintah, lahirnya  Ujian Nasional  adalah sebagai alat untuk mengukur mutu pendidikan nasional. Disinyalir oleh kalangan birokrasi kependidikan bahwa tingkat kelulusannya cukup bagus. Kenyataannya ternyata hampir menurun tiap tahun.  Sebagai contoh,  tingkat kelulusan SMA/SMK di Bali tahun 2010 menurun dari sebelumnya yakni:  dari 93,74 menjadi 89,88. Berdasarkan data Badan Standar Nasional Pendidikan, terdapat 154,079 siswa yang tidak lulus dari total peserta 1.522.162 siswa yang ikut ujian di seluruh Indonesia. Kalau demikian benarkah UN layak sebagai alat untuk mengukur dan mengevaluasi  kualitas mutu pendidikan nasionals? Secara teoritis mungkin benar.
Digulirkannya kebijakan desentralisasi khususnya di bidang pendidikan  penyelenggaraan UN ini sangatlah tidak rasional. Mengapa? Lihat saja kelulusan anak-anak  sekolah dari level sekolah dasar hingga menengah atas. Prosentase kelulusan dari tiap-tiap kabupaten/kota, hingga ke provinsi, juga semakin menurun  tiap tahun. Ini  baru di Bali. Bagaimana dengan di tempat yang lain?
            Melihat realitas tersebut, kebijakan Ujian Nasional  ini seharusnya perlahan-lahan dihapuskan saja. Dengan melihat realitas di lapangan, betapa banyaknya rakyat Indonesia yang kecewa karena anaknya tidak lulus. Khususnya mereka yang berasal dari rakyat miskin. Apakah ini sesuai dengan esensi dari tujuan UU 1945 terkait dengan Pendidikan di Indonesia? Jangankan pemerataan dan keadilan pendidikan yang diharapkan mampu membebaskan mereka dari kemiskinan, namun justru sebaliknya bahwa telah menghancurkan harapan mereka di  tengah sulitnya untuk bertahan hidup, dan  membiayai sekolah anaknya agar tidak droup out. Ironisnya lagi, dengan isu tidak adanya ujian susulan bagi peserta UAN yang tidak lulus, menurut hasil akhir perdebatan antara  Mendiknas dengan wakil  rakyat, betapa tidak  menambah beban orang tua siswa anak-anak bangsa ini. What the joke?
            UAN adalah suatu bentuk evaluasi hasil belajar yang dilakukan terhadap peserta didik untuk mengetahui tingkat keberhasilan mereka dalam menyerap pengetahuan yang diberikan. Oleh karena itu, evaluasi adalah suatu hal yang wajib dilakukan dalam dunia pendidikan untuk mengetahui tingkat keberhasilan itu. Masalahnya apakah evaluasi itu  dilakukan oleh orang/lembaga/institusi yang mengetahui seberapa jauh proses belajar yang dilakukan  oleh peserta didik. Faktanya sangatlah berbeda.
            Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 58 ayat (1) dikatakan” Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”. Dari ayat ini sudah diketahui bahwa yang berhak dan berkewajiban menyelenggarakan evaluasi terhadap peserta didik atas proses hasil belajar adalah pendidik alias GURU. Hal ini karena guru-lah yang paling tahu tentang proses belajar murid dalam kelas, guru-lah yang paling mengerti tentang kemajuan siswa dalam  proses belajar itu. Itulah salah satu fungsinya guru. Lalu tiba-tiba kita dikejutkan bahwa Negara (baca: pemerintah/depdiknas) menyelenggarakan UAN yang berfungsi sebagai evaluasi hasil belajar dan juga sebagai penentu kelulusan/keberhasilan peserta didik. What the joke? Apa yang pemerintah tahu tentang proses belajar di kelas? Apa yang pemerintah tahun  tentang kemajuan prosaes pendidikan? Apa yang pemerintah tahu  tentang seberapa jauh seorang peserta didik bisa mengikuti tingkat pendidikan itu. Nothing. Menteri Pendidikan terdahulu, Bambang Sudibyo mengatakan bahwa tingkat kelulusan UAN di SMU telah mencapai diatas 90% What bullshit? Semua orang tahu bahwa kualitas mutu pendidikan di Negara kita sangatlah jomblang.
            Perdebatan seputar mana yang harus diprioritaskan, apakah kualitas pendidikan atukah pemerataan pendidikan, adalah seperti memperdebatkan mana yang lebih dahulu, ayam atau  telur. Jawabnya bisa keduanya. Namun jika kondisi dimana pendidikan menjadi suatu alat membangun  manusia, maka pemerataan pendidikan haruslah mendapat tempat utama. Logikanya, Negara kita bertujuan membangun manusia Indonesia seutuhnya ( lihat Pembukaan  UUD 1945). Manusia Indonesia seutuhnya adalah manusia yang  terdidik, baik intelektualitasnya, emosinya, maupun perilakunya.  Dan pembangunan itu hanya, dan hanya bisa didapat mmelalui pendidikan. Oleh karena pendidikan menjadi alat utama dan terutama dalam membangun manusia. Jelaslah  dibutuhkan oleh bangsa Indonesia sekarang ini adalah kesempatan memperoleh pendidikan yang seadil-adilnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Setelah semua anak negeri ini mendakapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, barulah benar  kita berbicara tentang kualitas.  
            Menurut BPS tahun 2003, angka buta huruf di Indonesia yang berusia di atas 10 tahun mencapai 9,07 % atu 15,5 juta orang. Apa artinya angka ini? Artinya pendidikan belum merata di negeri ini, karena masih banyak  rakyat yang bahkan masih belum bisa membaca dan menulis.  Lalu bagaimana bisa berpikiir mendahulukan kualitas pendidikan sedangkan  pendidikan masih belum merata di negeri ini?
II. MARAKNYA DEMO DAN ISU SEKITAR PENDIDIKAN                      
            Bukan rahasia lagi bahwa antara output dan outcome yang  dihasilkan oleh sebuah proses lembaga pendidikan di Indonesia tidak memuaskan dari tahun ketahun. Maka tidak heran  bahwa demopun tidak terhindarkan, walaupun masih dalam koridor yang wajar.
            Demo yang kritis  muncul karena distorsi di bidang pendidikan di tiap wilayah berbeda  di Indonesia. Kita tidak bisa membandingkan kualitas pendidikan di Papua dan di Jakarta. Itu tidak ubahnya membandingkan kecepatan lari kuda dengan siput. Semua orang tahu bahwa ada disparitas. Lalu ketika ada ujian nasional yang  terstandarisasi, kita memakai standar yang mana? Ada yang dilupakan oleh para penentu kebijakan pendidikan di Negara ini, yakni  filosofi pendidikan, hasil ujian bukanlah salah satu indikator keberhasilan pendidikan. Proses sebuah pendidikan jauh lebih esensial. Maka  keberhasilan pendidikan juga tidak bisa dilihat dari kertas nilai hasil ujian dengan nilai sekian dan ada cap LULUS (yang ditentukan pemerintah).
Pendidikan adalah proses membangun manusia seutuhnya. Bukan hanya membangun kecerdasan (intelektual) belaka, tapi juga membangun dan meningkatkan afeksi dan motorik.  Pemerintah tentu tidak perlu diajari lagi masalah ini.
            Akhir-akhir ini muncul lagi kebijakan yang meresahkan lembaga pendidikan swasta. Ditetapkannya BHP yang mana oleh pemerintah dianggap sebagai instrument untuk menakar pendirian dan  rekrutmen peserta didik dalam suatu wilayah, sangatlah memberatkan. Lembaga swasta  adalah lembaga independent yang mencari peluang dari menjual kualitas jasa pendidikan. Jika dibatasi, diatur dengan Permen dan ketentuan lain, akan banyak lembaga pendidikan swasta yang gulung  tikar. Selanjutnya akan muncullah peodalisme pendidikan. Sekolah negeri  dengan materai milik pemerintah akan menjadi raksasa di wilayah pendidikan? Jelas adalah kebijakan yang tidak arif dan melanggar Undang-Undang Dasar 1945 tentang kemerdekaan setiap warga untuk mendapatkan pendidikan.
            Selama kurun waktu hampir 60 tahun  lebih sejak Indonesia merdeka, sekolah swasta adalah mitra kerja dalam upaya memajukan pendidikan di tanah air Indonesia. Kalau boleh jujur, sekolah swasta bahkan merupakah pilihan utama (primadona) masyarakat dalam menentukan dimana anaknya harus disekolahkan. Swasta yang tertib, desiplin, lengkap sarananya, dan lain-lain, merupakan image positive yang tidak bisa dilihat sebelah mata. Maka  adalah tidak fair jika kemudian ada  aturan semacam BHP. Adakah pemerintah akan menjadikan proses pengembangan baik kuantitas maupun kualitas pendidikan dengan pendirian dan rekrutmen siswa sebagai proyek? Hanya yang memikirkan BHP yang tahu jawabnya. Jika itu maksud dan tujuannya  maka niscaya Negara kita ini akan semakin  terpuruk dan terperosok dalam lubang problematika antara mutu dan proyek para pemegang otoritas.  
            Tidak kalah ramainya, terkait dengan Kurikulum berbasis KTSP yang berbanding linear dengan pelaksanaan desentralisasi. Yang benar saja. KTSP kini menjadi  sebuah   “ Joke”. KTSP bukanlah kepanjangan dari kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, namun “Kurikulum Tidak Siap Pakai.” Tentu gunjingan ini  sangat beralasan. Semua perubahan instrument yang dirujuk oleh Pemerintah tak lebih hanyalah sebuah inovasi” trial and error”. Hal hasil, semakin tampak bahwa karakter dan mutu pendidikan kita semakin tidak jelas arah dan tujuannya.
            isu-isu kritis pengembangan dan pembinaan profesi guru dan tenaga kependidikan juga mempengaruhi kurangnya mutu pendidikan di Indonesia. Sebelumnya, membuka kuliah umum ini, Ir. Maruli Gultom, rektor Universitas Kristen Indonesia Jakarta, menyampaikan bahwa pendidikan di daerah terpencil harus diperhatikan oleh pemerintah. Beliau menyampaikan bagaimana FKIP UKI pernah melakukan kerjasama dengan PT. Astra Tbk., untuk mengadakan survey dan assessment sekolah-sekolah binaan Astra, dan dari hasil assessment, FKIP UKI melakukan tindakan nyata dengan malakukan pelatihan soft skill dan hardskill guru-guru di sekolah-sekolah binaan. Hasil dari pelatihan tersebut, sekarang sekolah-sekolah binaan tersebut menjadi sekolah unggulan di daerahnya.
            Isu-isu kritis tersebut diantaranya menyinggung otonomi daerah, kualifikasi dan penilaian kinerja guru, pembinaan karir guru. Sekarang ini pengelolaan guru desentralisasi karena otonomi daerah. Hal ini menjadi kendala dalam distribusi guru dan kebijakan-kebijakan yang lain dalam hal pemerataan baik secara kualitas apalagi secara kwantitas dan matapelajaran. Apakah perlu disentralisiskan? Kemungkinan lebih baik, tapi harus adanya Peraturan Pemerintah atau Revisi UU No. 32 tentang Otomoni daerah.
            Kualifikasi guru juga salah satu isu penting yang harus segera diperhatikan pemerintah. Data sekarang, 48.69% guru belum S1/D4, dan banyak yang belum linier, serta sebanyak 70% guru juga belum memiliki sertifikat pendidik. Ditambah lagi Penilaian Kinerja Guru (PKG) belum jelas pemetaan peran tentang pelaksanaan dan sistem pengendaliannya. Hal ini menyebabkan tidak bisa berlanjutnya Penilaian Kinerja Berkelanjutan karena belum ada database berbasis sistem informasi dan kurikulum untuk setiap jenjang kepangkatan.
            Selain itu, pelaksanaan pembinaan dan system kenaikan pangkat dilakukan secara manual dan konvensional, bahkan pengangkatan kepala sekolah belum berdasarkan karir. Belum lagi sistem perlindungan terhadap profesi guru masih sangat minim, terutama di sekolah swasta.
            Tunjangan guru juga perlu diperhatikan mengingat yang terjadi sekarang adalah masih menjadi masalah pada mekanisme pembayaran, komitmen daerah untuk pembayaran, dukungan data base lemah, juga terjadi kelemahan pada pengawasandan pengendalian, dan tunjangan yang seharusnya berdampak pada peningkatan kinerja belum tampak.
Isu strategis yang lain adalah peningkatan pendidikan di daerah khusus, yaitu daerah-daerah yang masih belum tersentuh pendidikan yang layak. Hal ini menjadi perhatian karena sekarang ini belum ada kriteria daerah khusus yang menyebabkan kualifikasi dan kompetensi guru sangatlah lemah.
            Yang perlu diperhatikan lagi adalah mengenai guru honor (Guru Bantu, HONDA, GYT, dan GTT) dan asosiasi profesi guru karena belum adanya regulasi guru honor dan pendirian asosiasi profesi yang menyebabkan tidak optimalnya pembinaan profesi. Seharusnya ada regulasi bagi guru honor dan perlindungan dan pembinaan profesi.
Isu isu kritis ini perlu diperhatikan pemerintah dalam membuat undang-udang dan kebijakan-kebijakan untuk peningkatan mutu pendidikan Indonesia. Dihimbau juga kepada para peneliti atau praktisi pendidikan agar melakukan penelitian tentang isu-isu tersebut sehingga tersedianya data yang memberikan kontribusi bagi kebijakan pemerintah.

III. ANTARA REALITAS DAN SOLUSI?
Ketimpangan dalam penyediaan Mutu dan Jasa Pendidikan
1. Tidak semua anak bersekolah.
Indonesia masih belum mampu memenuhi program wajib belajar 9 tahun bagi semua anak. Saat ini masih terdapat sekitar 20 persen anak usia sekolah menengah pertama yang masih belum
bersekolah. Perbedaan partisipasi antar daerah yang cukup besar. Pada tahun 2002, sebagai contoh, angka partisipasi murni pada jenjang sekolah dasar berkisar antara 83,5 persen di propinsi Gorontalo dan 94,4 persen di Sumatera Utara. Pada jenjang sekolah menengah pertama, angka partisipasi murni berkisar antara 40,9 persen di Nusa Tenggara Timur dan 77,2 persen di Jakarta dan pada jenjang sekolah menengah atas berkisar antara 24,5 persen di Nusa Tenggara Timur dan 58,4 persen di Yogyakarta.
2. Anak dari kelompok miskin keluar dari sekolah lebih dini.
Pada tahun 2002 angka partisipasi sekolah menengah pertama dari kelompok penduduk seperlima terkaya, lebih tinggi 69 persen dibandingkan dengan angka partisipasi dari kelompok seperlima termiskin. Sementara pada jenjang sekolah menengah atas, angka partisipasi murni dari kelompok seperlima terkaya mencapai tiga setengah kali lebih tinggi dibandingkan dengan angka partisipasi murni kelompok termiskin. Walaupun hamper semua anak dari berbagai kelompok pendapatan bersekolah di kelas satu sekolah dasar, anak dari kelompok pendapatan termiskin cenderung menurun partisipasinya setelah mencapai kelas enam.
3. Kualitas sekolah di Indonesia masih rendah dan cenderung memburuk.
Selama ini ekspansi sekolah tidak menghasilkan lulusan dengan pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk membangun masyarakat yang kokoh dan ekonomi yang kompetitif di masa depan. Bukti ini ditunjukkan dengan rendahnya kemampuan murid tingkat 8 (SMP kelas 2) dibandingkan dengan negara tetangga Asia pada ujian-ujian internasional di tahun 2001 (lihat tabel 1). Telihat cukup jelas bahwa ekspansi partisipasi sekolah di Indonesia tidak diikuti dengan peningkatan kualitas.
4. Persiapan dan kehadiran tenaga pengajar yang masih kurang.
Berbeda dengan kebanyakan negara, Indonesia memperbolehkansemua lulusan institusi pendidikan keguruan menjadi tenaga pengajar, tanpa perlu melewati ujian dalam hal kesiapan untuk memberikan ilmu pengetahuan dan keahlian mereka pada kondisi sekolah yang beragam. Pada waktu yang sama terdapat kesulitan untuk memberhentikan tenaga pengajar yang tidak mampu mengajar. Lebih jauh, berdasarkan survei yang dilakukan untuk Laporan Pembangunan Dunia 2004, 20 persen tenaga pengajar Indonesia tidak masuk sekolah pada saat pengecekan di sekolah-sekolah yang terpilih secara random. Ini berarti 20 persen dari dana yang digunakan untuk membiayai tenaga pengajar tidak memberikan manfaat secara langsung kepada murid, karena ternyata tenaga pengajar tersebut tidak berada di kelas.
5. Pemeliharaan sekolah-sekolah tidak dilakukan secara berkala.
Berdasarkan data survei sekolah dari Departemen Pendidikan Nasional, satu dari enam sekolah di Jawa Tengah berada dalam kondisi yang buruk, sementara itu sedikitnya satu dari dua sekolah di Nusa Tenggara Timur juga berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Murid-murid berada di ruang kelas tanpa peralatan belajar yang memadai, seperti buku pelajaran, papan tulis, alat tulis, dan tenaga pengajar yang menguasai materi pelajaran sesuai kurikulum.
            Mutu pendidikan kita secara nasional dapat dikatakan masih sangat memprihatinkan. International Education Achievement (IEA) memperlihatkan kemampuan mambaca siswa SD Indonesia menempati urutan 30  dari 38 negara. The Third International Mathematics and Science Study Report (1999) melaporkan kemampuan siswa Indonesia dalam bidang matematika dan IPA berurutan menempati urutan  34 dan 32 dari 38 negara.  UNDP, badan pembangunan PBB, melaporkan Human Development Index (HDI, Indeks Pembangunan Manusia), tahun 2002 dan 2003 berurutan menempati urutan 110 dari 173, dan 112 dari 175 negara.  HDI adalah salah satu komponennya  indeks pendididkan.
            Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa kualitas pendidikan kita sebagai Negara yang sudah cukup lama merdeka masih sangat rendah. Inilah adalah fakta yang jika tidak dengan arif dan bijaksana diformulasikan pemerintah dan para pemegang otoritas di bidang pendidikan  dan dilaksanakan dengan tanggungjawab, maka Negara ini tidak  akan pernah maju dan berkembang di tengah kompetisi Negara-negara berkembang lainnya.
            Kembali kepada visi dan misi pendidikan awal yang  telah diletakkan secara fundamental oleh Bapak Pendidikan nasional kita, Ki hajar Dewantara, dan mengkemas  strategi Pengembangan Pendidikan yang sesuai dengan kultur Bangsa dan selektif dengan kemajuan IPTEK, adalah jawabannya. Kita tidak ingin hanyut di tengah derasnya gelombang kompetisi global, namun berupaya ikut secara alami maju bersama gelombang tanpa menghilangkan karakter bangsa yang Adiluhung ini.






BAB III   
PENUTUP
I. KESIMPULAN
Melihat realitas di lapangan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan, selayaknya pemerintah bercermin dan belajar dari pengalaman yang lalu dan berbenah untuk yang saat ini dan  saat yang akan datang.
Peraturan perundangan yang digulirkan seyogyanya digodok dengan matang dengan melibatkan tokoh dan praktisi pendidikan di seluruh Indonesia. Karena merekalah yang tahu  dan mengalami secara langsung, bukan bara wakil rakyat di gedung parlemen. Pemerintah hendaknya konsisten dengan program yang benar-benar telah dirancang secara inspiratif dari kehendak rakyat  tanpa takut mengeluarkan atau menambah biaya dari APBN demi peningkatan mutu pendidikan yang berimplikasi pada mutu manusia Indonesia sendiri. Jika tidak, demo dan kritikan akan tiada hentinya bermunculan.
 II. SARAN
Masyarakat Indonesia sampai saat ini adalah masyarakat yang berbudaya, dan tidak kalah cerdas dengan bangsa lain. Namun ketinggalan dalam kompetisi mencapai kemakmuran, yang bermula dari SDM-nya yang belum handal.  Karena itu  adalah bijaksana jika segenap komponen pendidikan, rakyat, para stakeholders, pemerintah,  maju dan berjuang bersama  pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar terbebas dari belenggu kebodohan dan ketertinggalan karena tidak adanya  kemerdekaan dalam mendapatkan pendidikan yang merata dan layak.


2 komentar: